Senin, 03 Januari 2011

BAHAYA PEMANASAN GLOBAL

BAHAYA NYATA PEMANASAN GLOBAL
Monday, 04 May 2009 22:35
Oleh: MUHAMMAD KAUTSAR AZHARI


Saya terkejut melihat betapa begitu banyaknya sekarang orang di Eropa, Amerika Serikat, dan di negara-negara lain yang mendukung kebijakan yang berpijak pada histeria pemanasan global, terutama dengan legislasi cap-and-trade untuk mengurangi emisi gas rumah kaca serta subsidi pengembangan sumber energi "hijau". Saya yakin bahwa kebijakan semacam ini merupakan strategi yang salah arah--tidak hanya karena ketidakpastian mengenai bahaya pemanasan global ini sendiri, tapi justru karena kepastian kerusakan yang bakal terjadi akibat kebijakan pengurangan emisi tersebut.

Saya pernah diundang berbicara mengenai persoalan ini pada suatu konferensi yang baru-baru ini diadakan Santa Barbara, California. Para peserta konferensi ini terdiri atas para pengusaha yang berharap memetik keuntungan dari kebijakan cap-and-trade dan dari subsidi bagi proyek-proyek energi hijau dan terbarukan tersebut. Nasihat saya kepada mereka adalah jangan terjebak ke dalam histeria ini. Eropa sudah maju beberapa tahun di depan AS dalam melaksanakan kebijakan pengurangan pemanasan global. Semua negara Uni Eropa telah meratifikasi Protokol Kyoto dan mengadopsi kebijakan-kebijakan yang bertujuan mengurangi emisi gas mereka dan memenuhi target yang telah ditetapkan dalam Protokol Kyoto. Kebijakan-kebijakan ini termasuk prakarsa cap-and-trade yang dikenal sebagai Emissions Trading Scheme, pengenaan pajak bahan bakar yang tinggi, serta program yang ambisius untuk membangun kincir-kincir angin dan proyek-proyek energi terbarukan lainnya. Kebijakan-kebijakan ini diambil pada saat ekonomi Uni Eropa berjalan mulus dan dengan kesadaran penuh bahwa kebijakan-kebijakan ini bakal menelan biaya yang besar.

Dengan krisis keuangan global dan downturn ekonomi yang tiba-tiba melanda dunia saat ini, dua hal menjadi jelas. Pertama, sulit menanggung biaya pengembangan sumber-sumber energi terbarukan yang mahal tersebut. Kedua, kebijakan pencatuan energi seperti cap-and-trade bakal menjadi penghambat permanen kegiatan ekonomi. Ironisnya, emisi gas tidak berkurang dengan kebijakan-kebijakan ini, melainkan justru sekarang berkurang ketika ekonomi dunia bergerak memasuki resesi.

Kenyataan ini tidak mengejutkan seseorang seperti saya yang secara aktif telah terlibat dalam mewujudkan transisi dari komunisme ke masyarakat bebas dan ekonomi pasar di negeri saya sendiri. Industri berat yang kuno dan usang, yang menjadi kebanggaan rezim komunis, langsung bangkrut karena ia tidak mampu bertahan dalam ekonomi yang terbuka. Hasilnya terjadi penurunan emisi C02 dengan dramatis. Rahasia di balik penurunan emisi ini adalah turunnya pertumbuhan ekonomi. Ketika ekonomi Republik Cek dan negara-negara Eropa Timur lainnya dibangun kembali dan mulai tumbuh, emisi mulai meningkat lagi. Jelas bagi siapa pun bahwa ada korelasi yang sangat kuat antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi.

Karena itu, saya heran menyaksikan banyak orang mendukung argumentasi politik yang sekarang menjadi mode bahwa kebijakan seperti cap-and-trade dan mandat yang diberikan kepada pemerintah serta subsidi energi terbarukan benar-benar dapat membawa manfaat bagi perekonomian dunia. Dikatakan bahwa pemerintah, bekerja sama dengan dunia usaha, bakal menciptakan "suatu ekonomi energi" yang menguntungkan semua orang, termasuk para pengusaha yang terlibat dalam upaya ini. Semua ini khayalan belaka. Cap-and-trade bisa berhasil cuma dengan menaikkan harga energi. Konsumen yang terpaksa membayar harga yang lebih mahal bakal tidak mempunyai banyak uang lagi untuk membeli barang-barang lainnya. Sementara itu, perusahaan-perusahaan yang menyediakan energi hijau yang mahal itu mungkin memetik keuntungan, efek neto ekonominya bakal negatif.

Kita perlu melihat gambar yang lebih besar. Keuntungan bisa diperoleh ketika energi dicatu atau disubsidi, tapi ini bisa terjadi hanya dalam suatu ekonomi yang mencatat laju pertumbuhan yang rendah, atau bahkan negatif sama sekali. Artinya, dalam jangka panjang, setiap orang bakal bersaing untuk mendapatkan sepotong kue yang lebih kecil daripada yang seharusnya diperolehnya tanpa catu energi. Semua ini tidak memberikan tanda-tanda yang menggembirakan bagi pertumbuhan atau bagi upaya yang sedang kita lakukan untuk keluar dari krisis yang kita hadapi saat ini.

Pengaruh pemanasan global terhadap planet bumi kini dipetakan di internet. Google merilis fitur di layanan onlinenya, Google Earth, untuk menunjukkan bagaimana keadaan bumi di tengah efek perubahan iklim dalam masa sampai 100 tahun mendatang.

Memanfaatkan data dari lembaga pengetahuan British Met Office Hadley Centre dan British Antarctic Survey, animasi di Google Earth mengilustrasikan perubahan temperatur udara di berbagai negara.

Misalnya saja, temperatur di Australia diprediksi akan meningkat 5 sampai delapan derajat celcius pada tahun 2099. Berbagai bahaya pun amat mengancam termasuk kegagalan panen, banjir dan hawa panas berlebihan.

Efek terburuk kemungkinan melanda wilayah Artik yang pada tahun 2099 temperaturnya bisa naik sampai 18 derajat celcius. Hal ini hanya bisa dihindari jika emisi gas rumah kaca turun drastis.

Program pemetaan pemanasan global tersebut diluncurkan oleh Perdana Menteri Inggris, Gordon Brown. "Proyek ini menunjukkan realitas perubahan iklim dan efeknya bagi manusia di seluruh dunia. Kita bisa menghindari kemungkinan terburuk dengan beraksi mulai sekarang," papar Hilary Benn dari Departemen Lingkungan Inggris.

Subscribe for get Updates Post from gg_Cemara to Your Email

1 komentar: